INDO SEX ASIA - Mbak Lina kurang lebih baru 2 minggu bekerja selaku atasanku selaku Accounting Manager. Selaku atasan baru, dia kerap memanggilku ke ruang kerjanya buat menarangkan overbudget yang terjalin pada bulan tadinya, ataupun buat menarangkan laporan mingguan yang kubuat. Saya sendiri telah tercantum staf senior. Tetapi bisa jadi sebab latar balik pendidikanku tidak lumayan menunjang, management memutuskan merekrutnya. Dia berasal dari suatu industri konsultan keuangan.
Umurnya kutaksir dekat 25 sampai 30 tahun. Selaku atasan, tadinya kupanggil“ Bu”, walaupun usiaku sendiri 10 tahun di atasnya. Tetapi atas permintaanya sendiri, seminggu yang kemudian, dia berkata lebih suka apabila di panggil“ Mbak”. Semenjak dikala itu mulai terbina atmosfer serta ikatan kerja yang hangat, tidak sangat resmi. Paling utama sebab perilakunya yang ramah. Dia kerap langsung menyebut namaku, sesekali apabila lagi bersama rekan kerja yang lain, dia menyebut“ Pak”.
Tunjukan keberuntunganmu dengan bermain PokerQQ Online, Raih uang sebanyak-banyaknya
Tunjukan keberuntunganmu dengan bermain PokerQQ Online, Raih uang sebanyak-banyaknya
Serta tanpa kusadari pula, diam- diam saya merasa betah serta aman apabila memandang mukanya yang menawan serta lembut mempesona. Dia memanglah mempesona sebab sejoli bola matanya sewaktu- waktu bisa bernar- binar, ataupun memandang dengan tajam. Tetapi di balik itu seluruh, nyatanya dia suka mendikte. Bisa jadi sebab sudah menduduki jabatan yang lumayan besar dalam umur yang relatif muda, keyakinan dirinya juga lumayan besar buat menyuruh seorang melakukan apa yang diinginkannya.
Mbak Lina senantiasa berpakaian resmi. Dia senantiasa menggunakan blus serta rok gelap yang agak menggantung sedikit di atas lutut. Apabila lagi terletak di ruang kerjanya, diam- diam saya juga kerap memandang lekukan pinggulnya kala dia bangkit mengambil file dari rak folder di belakangnya. Walaupun bagian dasar roknya lebar, namun saya bisa memandang pinggul yang samar- samar tercetak dari baliknya. Sangat menarik, tidak besar namun jelas wujudnya membongkah, memforsir mata lelaki menerawang buat mereka- reka keindahannya.
Di dalam ruang kerjanya yang besar, persis di samping meja kerjanya, ada seperangkat kursi yang kerap dipergunakannya menerima tamu- tamu industri. Selaku Accounting Manager, pasti senantiasa terdapat pembicaraan- pembicaraan‘ privacy’ yang lebih aman dicoba di ruang kerjanya daripada di ruang rapat.
Saya merasa beruntung apabila dipanggil Mbak Lina buat mangulas cash flow keuangan di sofa kursi itu. Saya senantiasa duduk persis di depannya. Serta apabila kami ikut serta dalam pembicaraan yang lumayan sungguh- sungguh, dia tidak menyadari roknya yang agak tersingkap. Di situlah keberuntunganku. Saya bisa melirik sebagian kulit paha yang bercorak gading. Kadang- kadang lututnya agak sedikit terbuka sehingga saya berupaya buat mengintip ujung pahanya. Tetapi mataku senantiasa terbentur dalam kegelapan. Andai saja roknya tersingkap lebih besar serta kedua lututnya lebih terbuka, pasti hendak bisa kupastikan apakah bulu- bulu halus yang berkembang di lengannya pula berkembang di sejauh paha sampai ke pangkalnya. Apabila kedua lututnya rapat kembali, lirikanku berpindah ke betisnya. Betis yang indah serta bersih. Terpelihara. Kala saya terlena memandang kakinya, seketika saya diguncang oleh persoalan Mbak Lina..
“ Jhony, saya merasa kalau kau kerap melirik ke arah betisku. Apakah dugaanku salah?” Saya terdiam sejenak sembari tersenyum buat menyembunyikan jantungku yang seketika berdebar.
“ Jhony, salahkah dugaanku?”
“ Hmm.., ya, benar Mbak,” jawabku mengaku, jujur. Mbak Lina tersenyum sembari memandang mataku.
“ Kenapa?”
Saya membisu. Terasa sangat berat menanggapi persoalan simpel itu. Tetapi kala menengadah memandang mukanya, kulihat bola matanya berbinar- binar menunggu jawabanku.
“ Aku suka kaki Mbak. Suka betis Mbak. Indah. Serta..,” sehabis menarik napas panjang, kukatakan alibi sesungguhnya.
“ Aku pula kerap menduga- duga, apakah kaki Mbak pula ditumbuhi bulu- bulu.”“ Persis semacam yang kuduga, kau tentu mengatakan jujur, apa terdapatnya,” kata Mbak Lina sembari sedikit mendesak sofa rodanya.
“ Supaya kau tidak penasaran menduga- duga, gimana jika kuberi peluang memeriksanya sendiri?”“ Suatu kehormatan besar untukku,” jawabku sembari membungkukan kepala, terencana sedikit bercanda buat mencairkan pembicaraan yang kaku itu.
“ Kompensasinya apa?”“ Selaku rasa hormat serta ciri terima kasih, hendak kuberikan suatu ciuman.”“ Bagus, saya suka. Bagian mana yang hendak kau cium?”“ Betis yang indah itu!”“ Cuma suatu ciuman?”“ Seribu kali juga saya bersedia.” Mbak Lina tersenyum manis dikulum.
Dia berupaya manahan tawanya“ Serta saya yang memastikan di bagian mana saja yang wajib kau cium, OK?”“ Deal, my lady!”“ I like it!” kata Mbak Lina sembari bangkit dari kursi. Dia melangkah ke mejanya kemudian menarik kursinya sampai ke luar dari kolong mejanya yang besar.
Sehabis menghempaskan pinggulnya di atas sofa sofa kerjanya yang besar serta empuk itu, Mbak Lina tersenyum.
Matanya berbinar- binar seakan menaburkan sejuta pesona birahi. Pesona yang memerlukan sanjungan serta pujaan.“ Periksalah, Jhony. Berlutut di depanku!” Saya membisu.
Terpana mendengar perintahnya.“ Kau tidak mau memeriksanya, Jhony?” tanya Mbak Lina sembari sedikit merenggangkan kedua lututnya. Sejenak, saya berupaya meredakan debar- debar jantungku.
Saya belum sempat diperintah semacam itu. Terlebih diperintah buat berlutut oleh seseorang perempuan. Bibir Mbak Lina masih senantiasa tersenyum kala dia lebih merenggangkan kedua lututnya.
“ Jhony, kau ketahui warna apa yang tersembunyi di pangkal pahaku?” Saya menggeleng lemah, seakan terdapat kekuatan yang seketika merampas sendi- sendi di sekujur tubuhku.
Tatapanku terpaku ke dalam keremangan di antara celah lutut Mbak Lina yang meregang. Kesimpulannya saya bangkit menghampirinya, serta berlutut di depannya. Sebelah lututku memegang karpet. Wajahku menengadah. Mbak Tia masih tersenyum.
Telapak tangannya mengusap pipiku sebagian kali, kemudian berpindah ke rambutku, serta sedikit memencet kepalaku supaya menunduk ke arah kakinya.“ Mau ketahui rupanya?” Saya mengangguk tidak berdaya.“ Kunci dahulu pintu itu,” katanya sembari menunjuk pintu ruang kerjanya.
Serta dengan patuh saya melakukan perintahnya, setelah itu berlutut kembali di depannya. Mbak Lina menopangkan kaki kanannya di atas kaki kirinya. Gerakannya lelet semacam bermalas- malasan.
Pada dikala seperti itu saya menemukan peluang memandang sampai ke pangkal pahanya. Serta kali ini tatapanku terbentur pada secarik kain tipis bercorak putih.
Tentu dia mengenakan G- String, kataku dalam hati. Saat sebelum paha kanannya betul- betul tertopang di atas paha kirinya, saya masih pernah memandang bulu- bulu ikal yang menyembul dari sisi- sisi celana dalamnya.
Segitiga tipis yang cuma selebar kira- kira 2 jari itu sangat kecil buat menyembunyikan seluruh bulu yang mengitari pangkal pahanya. Apalagi pernah kulirik bayangan lipatan bibir di balik segitiga tipis itu.
“ Suka?” Saya mengangguk sembari mengangkut kaki kiri Mbak Lina ke atas lututku.
Ujung hak sepatunya terasa agak menusuk. Kulepaskan klip tali sepatunya. Kemudian saya menengadah. Sembari membebaskan sepatu itu. Mbak Tia mengangguk. Tidak terdapat pendapat penolakan. Saya menunduk kembali. Mengelus- elus pergelangan kakinya. Kakinya lembut tanpa cacat. Nyatanya betisnya yang bercorak gading itu lembut tanpa bulu halus. Tetapi di bagian atas lutut kulihat sedikit ditumbuhi bulu- bulu halus yang agak kehitaman. Sangat kontras dengan warna kulitnya. Saya terpana. Mungkinkah mulai dari atas lutut sampai.., sampai.. Aah, saya menghembuskan napas. Rongga dadaku mulai terasa sesak. Wajahku sangat dekat dengan lututnya. Hembusan nafasku nyatanya membuat bulu- bulu itu meremang.
“ Indah sekali,” kataku sembari mengelus- elus betisnya. Kenyal.
“ Suka, Jhony?” Saya mengangguk.
“ Tunjukkan kalau kau suka. Tunjukkan kalau betisku indah!”
Saya mengangkut kaki Mbak Lina dari lututku. Sembari senantiasa mengelus betisnya, kuluruskan kaki yang menekuk itu. Saya sedikit membungkuk supaya bisa mengecup pergelangan kakinya. Pada kecupan yang kedua, saya menjulurkan lidah supaya bisa mengecup sembari menjilat, mencicipi kaki indah itu. Akibat kecupanku, Mbak Lina merendahkan paha kanan dari paha kirinya. Serta tidak terencana, kembali mataku terpesona memandang bagian dalam kanannya. Sebab mau memandang lebih jelas, kugigit bagian dasar roknya kemudian menggerakkan kepalaku ke arah perutnya. Kala membebaskan gigitanku, kudengar tawa tertahan, kemudian ujung jari- jari tangan Mbak Lina mengangkut daguku. Saya menengadah.
“ Kurang jelas, Jhony?” Saya mengangguk.
Mbak Lina tersenyum bandel sembari mengusap- usap rambutku. Kemudian telapak tangannya memencet bagian balik kepalaku sehingga saya menunduk kembali. Di depan mataku saat ini terpampang keelokan pahanya. Tidak sempat saya memandang paha semulus serta seindah itu. Bagian atas pahanya ditumbuhi bulu- bulu halus kehitaman. Bagian dalamnya pula ditumbuhi namun tidak selebat bagian atasnya, serta warna kehitaman itu agak memudar. Sangat kontras dengan pahanya yang bercorak gading.
Saya merinding. Sebab mau memandang paha itu lebih utuh, kuangkat kaki kanannya lebih besar lagi sembari mengecup bagian dalam lututnya. Serta paha itu terus menjadi jelas. Mempesona. Di paha bagian balik lembut tanpa bulu. Sebab gemas, kukecup kesekian kali. Kecupan- kecupanku terus menjadi lama terus menjadi besar. Serta kala cuma berjarak kira- kira selebar telapak tangan dari pangkal pahanya, kecupan- kecupanku berganti jadi ciuman yang panas serta basah.
Saat ini hidungku sangat dekat dengan segitiga yang menutupi pangkal pahanya. Sebab sangat dekat, walaupun tersembunyi, dengan jelas bisa kulihat bayangan bibir kewanitaannya. Terdapat segaris kebasahan terselip membayang di bagian tengah segitiga itu. Kebasahan yang dikelilingi rambut- rambut ikal yang menyelip dari kiri kanan G- stringnya. Sembari memandang pesona di depan mataku, saya menarik napas dalam- dalam. Tercium aroma fresh yang membuatku jadi terus menjadi tidak berdaya. Aroma yang memaksaku terperangkap di antara kedua belah paha Mbak Lina. Mau kusergap aroma itu serta menjilat kemulusannya.
Mbak Lina menghempaskan kepalanya ke sandaran sofa. Menarik napas kesekian kali. Sembari mengusap- usap rambutku, diangkatnya kaki kanannya sehingga roknya terus menjadi tersingkap sampai tertahan di atas pangkal paha.
“ Suka Jhony?”
“ Hmm.. Hmm..!” jawabku bergumam sembari memindahkan ciuman ke betis serta lutut kirinya.
Kemudian kuraih pergelangan kaki kanannya, serta meletakkan telapaknya di pundakku. Kucium lipatan di balik lututnya. Mbak Lina menggelinjang sembari menarik rambutku dengan manja. Kemudian kala ciuman- ciumanku merambat ke paha bagian dalam serta terus menjadi lama terus menjadi mendekati pangkal pahanya, terasa tarikan di rambutku terus menjadi keras. Serta kala bibirku mulai mengulum rambut- rambut ikal yang menyembul dari balik G- stringnya, seketika Mbak Lina mendesak kepalaku.
Saya tertegun. Menengadah. Kami silih memandang. Tidak lama setelah itu, sembari tersenyum menggoda, Mbak Lina menarik telapak kakinya dari pundakku. Dia kemudian menekuk serta meletakkan telapak kaki kanannya di permukaan sofa. Pose yang sangat memabukkan. Sebelah kaki menekuk serta terbuka lebar di atas sofa, serta yang sebelah lagi menjuntai ke karpet.
“ Suka Jhony?”
“ Hmm.. Hmm..!”
“ Jawab!”
“ Suka sekali!”
Panorama alam itu tidak lama. Seketika saja Mbak Tia merapatkan kedua pahanya sembari menarik rambutku.
“ Nanti terdapat yang memandang bayangan kita dari balik kaca. Masuk ke dalam, Jhony,” katanya sembari menunjuk kolong mejanya.
Saya terkesima. Mbak Tia merenggut bagian balik kepalaku, serta menariknya lama- lama. Saya tidak berdaya. Tarikan lama- lama itu tidak sanggup kutolak. Kemudian Mbak Lina seketika membuka ke 2 pahanya serta mendaratkan mulut serta hidungku di pangkal paha itu. Kebasahan yang terselip di antara kedua bibir kewanitaan nampak terus menjadi jelas. Terus menjadi basah. Serta di situlah hidungku mendarat. Saya menarik napas buat menghisap aroma yang sangat menyegarkan. Aroma yang sedikit semacam daun pandan namun sanggup membius saraf- saraf di rongga kepala.
“ Suka Jhony?”
“ Hmm.. Hmm..!”
“ Saat ini masuk ke dalam!” ulangnya sembari menunjuk kolong mejanya.
Saya merangkak ke kolong mejanya. Saya telah tidak bisa berpikir waras. Tidak hirau dengan seluruh kegilaan yang lagi terjalin. Tidak hirau dengan etika, dengan norma- norma bercinta, dengan sakral dalam percintaan. Saya cuma hirau dengan kedua belah paha lembut yang hendak menjepit leherku, jari- jari tangan lentik yang hendak menjambak rambutku, telapak tangan yang hendak memencet bagian balik kepalaku, aroma semerbak yang hendak menerobos hidung serta penuhi rongga dadaku, kelembutan serta kehangatan 2 buah bibir kewanitaan yang menjepit lidahku, serta tetes- tetes birahi dari bibir kewanitaan yang wajib kujilat kesekian kali supaya kesimpulannya dihadiahi segumpal lendir orgasme yang telah sangat mau kucucipi.
Di kolong meja, Mbak Lina membuka kedua belah pahanya lebar- lebar. Saya mengulurkan tangan buat meraba celah basah di antara pahanya. Tetapi dia menepis tanganku.
“ Cuma lidah, Jhony! OK?”
Saya mengangguk. Serta dengan kilat membenamkan wajahku di G- string yang menutupi pangkal pahanya. Menggosok- gosokkan hidungku sembari menghisap aroma pandan itu sedalam- dalamnya. Mbak Lina kaget sejenak, kemudian dia tertawa manja sembari mengusap- usap rambutku.
“ Warnanya kau telah tidak tabah ya, Jhony?” katanya sembari melingkarkan pahanya di leherku.
“ Hektometer..!”
“ Haus?”
“ Hektometer!”
“ Jawab, Jhony!” katanya sembari menyelipkan tangannya buat mengangkut daguku. Saya menengadah.
“ Haus!” jawabku pendek.
Tangan Mbak Lina bergerak membebaskan tali G- string yang terikat di kiri serta kanan pinggulnya. Saya terpana memandang keelokan 2 buah bibir bercorak merah yang basah mengkilap. Sejoli bibir yang di bagian atasnya dihiasi benjolan daging pembungkus clit yang bercorak pink. Saya termangu memandang keelokan yang terpampang persis di depan mataku.
“ Jangan diam saja. Jhony!” kata Mbak Lina sembari memencet bagian balik kepalaku.
“ Hisap aromanya!” sambungnya sembari memencet kepalaku sehingga hidungku terselip di antara bibir kewanitaannya.
Pahanya menjepit leherku sehingga saya tidak bisa bergerak. Bibirku terjepit serta tertekan di antara dubur serta bagian dasar vaginanya. Sebab wajib bernafas, saya tidak memiliki opsi kecuali menghisap hawa dari celah bibir kewanitaannya. Cuma sedikit hawa yang bisa kuhirup, sesak namun mengasyikkan. Saya menghunjamkan hidungku lebih dalam lagi. Mbak Lina terpekik. Pinggulnya dinaikan serta digosok- gosokkannya dengan Liar sampai hidungku basah berlumuran tetes- tetes birahi yang mulai mengalir dari sumbernya. Saya mendengus. Mbak Lina menggelinjang serta kembali mengangkut pinggulnya. Kuhirup aroma kewanitaannya dalam- dalam, seakan vaginanya merupakan napas kehidupannku.
“ Fantastis!” kata Mbak Lina sembari mendesak kepalaku dengan lembut. Saya menengadah. Dia tersenyum memandang hidungku yang sudah licin serta basah.
“ Lezat‘ kan?” sambungnya sembari membelai ujung hidungku.
“ Fresh!” Mbak Lina tertawa kecil.
“ Kau pandai memanjakanku, Jhony. Saat ini, kecup, jilat, serta hirup sepuas- puasmu. Tunjukkan kalau kau memuja ini,” katanya sembari menyibakkan rambut- rambut ikal yang sebagian menutupi bibir kewanitaannya.
“ Jilat serta hirup dengan rakus. Tunjukkan kalau kau memujanya. Tunjukkan rasa hausmu! Jangan terdapat setetes juga yang tersisa! Tunjukkan dengan rakus seakan ini merupakan peluang awal serta yang terakhir bagimu!”
Saya terbawa- bawa dengan kata- katanya. Saya tidak hirau meski terdapat nada perintah di tiap kalimat yang diucapkannya. Saya memanglah merasa sangat lapar serta haus buat mereguk kelembutan serta kehangatan vaginanya. Kerongkonganku terasa panas serta kering. Saya merasa betul- betul haus serta mau lekas memperoleh segumpal lendir yang hendak dihadiahkannya buat membasahi kerongkongannku. Kemudian bibir kewanitaannya kukulum serta kuhisap supaya seluruh kebasahan yang menempel di sana mengalir ke kerongkonganku. Kedua bibir kewanitaannya kuhisap- hisap bergantian.
Kepala Mbak Lina terkulai di sandaran kursinya. Kaki kanannya melingkar menjepit leherku. Telapak kaki kirinya tiba bahuku. Pinggulnya terangkat serta terhempas di sofa kesekian kali. Sesekali pinggul itu berbalik mengejar lidahku yang bergerak Linar di bilik kewanitaannya. Dia merintih tiap kali lidahku menjilat clitnya. Nafasnya mengebu. Kadang- kadang dia memekik sembari menjambak rambutku.
“ Ooh, ooh, Jhony! Jhony!” Serta kala clitnya kujepit di antara bibirku, kemudian kuhisap serta permainkan dengan ujung lidahku, Mbak Lina merintih menyebut- nyebut namaku..
“ Jhony, nikmat sekali sayang.. Jhony! Ooh.. Jhony!”
Dia jadi Liar. Telapak kakinya menghentak- hentak di bahu serta kepalaku. Paha kanannya telah tidak melilit leherku. Kaki itu saat ini dinaikan serta tertekuk di kursinya. Mengangkang. Telapaknya tiba sofa. Selaku gantinya, kedua tangan Mbak Lina menjambak rambutku. Memencet serta menggerak- gerakkan kepalaku sekehendak hatinya.
“ Jhony, julurkan lidahmuu! Hirup! Hisaap!”
Saya menjulurkan lidah sedalam- dalamnya. Membenamkan wajahku di vaginanya. Serta mulai kurasakan kedutan- kedutan di bibir vaginanya, kedutan yang menghirup lidahku, mengundang supaya masuk lebih dalam. Sebagian detik setelah itu, lendir mulai terasa di ujung lidahku. Kuhisap segala vaginanya. Saya tidak mau terdapat setetes juga yang terbuang. Inilah hadiah yang kutunggu- tunggu. Hadiah yang bisa melegakan kerongkonganku yang kering. Kedua bibirku kubenamkan sedalam- dalamnya supaya bisa langsung menghirup dari bibir vaginanya yang mungil.
“ Jhony! Hirup Jhony!”
Saya tidak ketahui apakah rintihan Mbak Lina bisa terdengar dari luar ruang kerjanya. Seandainya rintihan itu terdengar juga, saya tidak hirau. Saya cuma hirau dengan lendir yang bisa kuhisap serta kutelan. Lendir yang cuma segumpal kecil, hangat, kecut, yang mengalir membasahi kerongkonganku. Lendir yang langsung ditumpahkan dari Miss V Mbak Lina, dari pinggul yang terangkat supaya lidahku terhunjam dalam.
“ Oh, fantastis,” gumam Mbak Lina sembari menghenyakkan kembali pinggulnya ke atas kursinya.
Dia menunduk serta mengusap- usap kedua belah pipiku. Tidak lama setelah itu, jari tangannya menengadahkan daguku. Sejenak saya menyudahi menjilat- jilat sisa- sisa cairan di permukaan kewanitaannya.
“ Saya puas sekali, Jhony,” katanya. Kami silih memandang. Matanya berbinar- binar. Sayu. Terdapat kelembutan yang memancar dari bola matanya yang memandang sendu.
“ Jhony.”
“ Hektometer..”
“ Tatap mataku, Jhony.” Saya memandang bola matanya.
“ Jilat cairan yang tersisa hingga bersih”
“ Hektometer..” jawabku sembari mulai menjilati vaginanya.
“ Jangan menunduk, Jhony. Jilat sembari memandang mataku. Saya mau memandang erotisme di bola matamu kala menjilat- jilat vaginaku.”
Saya menengadah buat memandang matanya. Sembari melingkarkan kedua lenganku di pinggulnya, saya mulai menjilat serta menghirup kembali cairan lendir yang tersisa di lipatan- lipatan bibir kewanitaannya.
“ Kau memujaku, Jhony?”
“ Ya, saya memuja betismu, pahamu, serta di atas segalanya, yang ini.., muuah!” jawabku sembari mencium kewanitaannya dengan mesra sepenuh hati.
Mbak Lina tersenyum manja sembari mengusap- usap rambutku.
0 Komentar